Maaf
Sore itu Lucky datang ke rumah Januar, dengan maksud ingin meminta maaf atas apa yang telah ia perbuat. Lucky merasa sangat menyesal telah melukai hati Januar, orang yang selama ini selalu ada untuknya dalam situasi apapun.
Sesampainya di rumah Januar, Lucky disambut oleh bundanya Januar. Bunda mempersilahkan Lucky masuk, ia pun langsung ke kamar Januar seperti biasa.
Tok tok tok
“Iya sebentar bun” ucap Januar dari dalam kamar
“Kenapa bu—”
“Hai” Lucky menyapa Januar saat pintu itu terbuka
Keduanya mematung, hening, terasa sangat canggung.
“Ngapain kesini?”
“Mau minta maaf”
“Minta maaf buat apa?”
“Maaf gue udah nyakitin lo”
“Terus?”
“Maafin gue ya?”
“Gue maafin lo dari dulu. Udah ya sekarang lo pergi, gue ga mau liat lo disini”
“Loh kok nak Luckynya ga diajak masuk dek?” ucap bunda yang baru saja datang membawa minuman
“Engga bun, Lucky udah mau pulang. Iya kan Lucky?” ucap Januar menatap Lucky seolah memberi tanda untuk mengiyakan perkataannya
“Ah iya bun Lucky udah selesai. Permisi bun”
“Loh kok pergi? Udah lama nak Lucky ga datang kesini loh. Kok kamu ga pernah kesini lagi nak? Kalian berantem kah?”
“Engga bun, Lucky nya aja yang lagi sibuk banget jadi ga sempet main kesini” jelas Lucky
“Kalo gitu sekarang main disini dulu aja. Bunda kangen nak Lucky disini”
Lucky mengarahkan pandangannya pada Januar. Mereka hanya dapat saling tatap, tak mengeluarkan satu patah kata pun.
“Lain kali ya bun Lucky bakal main disini lebih lama”
“Yaudah kalo gitu nak Lucky hati-hati ya”
“Iya bun, Lucky permisi”
Lucky tidak sepenuhnya pergi, dia masih menunggu Januar di depan pagar rumah, berharap lelaki manis itu keluar dan mau berbicara dengannya.
Sore berganti malam, Lucky masih tetap berada di depan rumah Januar. Tidak bergerak sedikitpun, masih menunggu Januar karna dia ingin berbincang lebih dengan lelaki manis itu.
Sorotan cahaya yang begitu terang masuk kedalam pengelihatan Lucky dan cahaya itu padam tepat di depan rumah Januar.
“Lo ngapain di depan rumah Januar? Mau maling?” ucap lelaki yang baru saja sampai di rumah Januar
Gue mau ketemu Januar”
“Kenapa ga masuk?”
Pagar rumah Januar terbuka dan memperlihatkan sosok Januar.
“Hai Malikkk masuk dulu yuk ketemu bun—” kalimat Januar terhenti saat fokusnya teralihkan pada Lucky ada di depan rumahnya sampai hari menjadi gelap.
“Dia siapa?” ucap Malik menatap Januar
“Lucky” ucap Lucky menjulurkan tangan kanannya
“Oh, gue Malik” ucap Malik menjabat tangan Lucky
“Yaudah kalo gitu gue balik aja. Lo berdua selesaiin urusan kalian” lanjutnya
“Engga. Kita tetep pergi. Ayo langsung jalan aja nanti biar gue telpon bunda” ucap Januar memakai helm dan duduk di motor Malik
“Malik cepet ayo pergi” lanjutnya
Malik dan Januar pergi menjauh, cahaya motor itu semakin lama semakin menghilang dari pengelihatan Lucky.
'Gue sejahat itu ya?' batin Lucky
Pukul 10 malam Januar dan Malik kembali. Lucky masih tetap berada disana menunggu kedatangan Januar.
“Kok lo masih disini?” tanya Januar heran
“Gue ga akan pergi sebelum lo mau ngobrol sama gue”
“Udah sayang kamu ngobrol aja sama dia biar dia cepet balik” ucap Malik
'Sayang?' batin Lucky
“Gue pergi dulu ya. Selesaiin urusan kalian biar ga usah ketemu lagi” ucap Malik dan pergi meninggalkan mereka berdua di depan rumah Januar
“Jan—”
“Masuk dulu” Januar memotong kalimat Lucky
“Duduk” Januar menyuruh Lucky utuk duduk di kursi teras rumahnya
“Makasih”
“Jadi mau ngomong apa?”
“Gue mau minta maaf”
“Minta maaf terus. Kan tadi gue bilang udah gue maafin dari dulu”
“Gue sadar Jan cuma lo orang yang selalu ada buat gue. Gue merasa kehilangan lo banget apalagi setelah gue tau lo ngeblok semua kontak gue. Kalo mama minta lo ke rumah, lo dateng saat ga ada gue, pas gue tiba-tiba pulang mama bilang lo pulang diem-diem. Segitunya lo ngehindarin gue Jan?”
“Segitunya gue hindarin lo? Ga salah Ky? Gue cuma nurutin apa yang lo mau Lucky. Lo yang minta gue menjauh, ya sekarang gue menjauh”
“Tapi ga perlu sampe block kontak gue kan?”
“Buat apa ada kontak lo lagi Lucky? Hati gue udah terlanjur hancur karna lo, gue ga mau nyakitin diri gue lebih lanjut”
“Maaf” ucap Lucky dengan nada yang melemah
“Percuma lo minta maaf terus Ky. Kenyataannya lo udah bikin gue sakit. Hati gue sakit, hancur, ga ada yang tersisa”
“Boleh gue memperbaiki semuanya?”
“Apa yang harus diperbaiki? Ga ada”
“Gue sayang sama lo Jan”
“Gue juga. Gue lebih sayang sama lo”
“Maksud gue sayang lebih dari sahabat. Gue cinta sama lo. Izinin gue memperbaiki semuanya ya? Gue baru sadar kalo lo itu segalanya buat gue, lo dunia buat gue, gue ga bisa hidup tanpa lo”
Januar terdiam mendengar apa yang Lucky katakan. Bagaimana bisa disaat hatinya sudah hancur berkeping-keping Lucky baru membalas perasaannya?
“Boleh kan Jan?” Lucky memecah keheningan diantara mereka
“Engga Ky, ga bisa” suara Januar bergetar, menahan tangis agar tidak membasahi pipinya
“Kenapa? Lo udah ga cinta sa—”
“Bukan. Gue masih cinta sama lo tapi gue ga bisa”
“Karna Malik? Lo udah jadian sama dia?”
“Ga ada hubungannya sama Malik”
“Trus karna apa?”
“Karna lo. Ngeliat lo bikin rasa sakit gue muncul. Gue ga bisa”
“Lo udah maafin gue kan?”
“Udah. Gue udah maafin lo. Ga mungkin gue ga maafin lo. Kita kenal dari bayi, sahabatan sampe segede ini, ga mungkin gue ga maafin lo” ucap Januar
“Lo tau? Saat sebuah kaca hancur, walau disatuin lagi tetep ada tanda bekas retakan disana. Persis sama kayak hati gue yang udah lo hancurin. Walau gue udah berusaha nata hati gue, luka itu masih ada dan gue ga mau ngebuka luka itu lagi” lanjutnya
“Tapi Jan—”
“Cukup” Januar memotong ucapan Lucky, dia menghela nafasnya panjang
“Sekarang lo pulang Lucky. Lo udah dapet jawabannya” lanjutnya
Lucky melangkahkan kakinya sambil melihat Januar yang masih terduduk di kursi teras sedang menumpu kepalanya dengan tangannya dan menutupi wajahnya dengan bahu yang bergetar.
“Januar maafin gue. Gue ga tau kalo perkataan gue dulu bikin lo sehancur ini. Jangan nangis Jan, gue sayang sama lo. Gue ga bisa liat lo sedih kayak gini” ucap Lucky kembali ke kursi dan memeluk tubuh Januar dari samping
Januar terbangun dari duduknya dan menghapus air mata yang membasahi pipinya.
“Pergi” ucap Januar menatap Lucky dengan mata yang berlimang air mata
“Lo ga mau liat gue sedih kan? Lo ga mau liat gue nangis? Pergi sekarang Lucky” tambahnya
“Tolong izinin gue buat meluk lo untuk yang terakhir kalinya, boleh? Gue janji abis ini gue ga akan ganggu hidup lo lagi, gue ga mau nyakitin lo lebih dalam” pinta Lucky
Januar tak berucap 1 kata pun. Tanpa balasan dari sang lawan bicara, Lucky memeluk dan membelai lembut rambut Januar.
“Sekali lagi gue minta maaf Jan. Mungkin ga ada gunanya gue minta maaf. Tapi gue bener-bener nyesel. Kita yang temenan dari kecil tapi berakhir kayak gini karna sikap gue ke lo waku itu. Gue yang merusak hubungan baik kita, maaf”
Tangis Januar pecah, ia membalas erat pelukan Lucky. Air matanya membanjiri pundak sang sahabat. Januar tak mengerti apa yang ia rasakan sekarang. Ia senang karna Lucky akhirnya mencintai dirinya, namun ia juga merasa sakit jika melihat Lucky di depan matanya, dan ia juga sedih karna ini mungkin memang benar pertemuan terakhir mereka. Berarti, pelukan ini adalah pelukan terakhir bagi mereka.
“Gue— cinta sama lo— tapi gue— ga bisa Ky, terlalu— sakit” ucap Januar dengan terbata-bata
“Gapapa, disini gue yang salah. Kalo aja dulu gue ga bilang begitu sama lo, kita ga akan kayak gini sekarang”
Setelah dirasa cukup, Lucky melepas pelukannya. Ia menghapus air mata yang ada di pipi Januar.
“Udah ya jangan nangis. Mungkin ini karma buat gue, gue jatuh cinta sama lo disaat yang ga tepat, gue datang disaat lo udah hancur. Gue pamit ya Jan, jangan lupa bahagia. Gue sayang sama lo, gue bahagia kalo lo bahagia”
Januar hanya bisa mengangguk. Kini dia hanya dapat melihat pundak Lucky yang semakin lama semakin menjauh. Pertanda bahwa ini memang akhir dari pertemuan mereka.